Publik dihebohkan dengan kemunculan tagihan royalti musik dan lagu yang tercantum dalam struk pembayaran di beberapa rumah makan atau restoran. Kejadian ini memicu perdebatan dan kebingungan di kalangan konsumen, yang merasa tidak seharusnya dibebani biaya royalti atas musik yang diputar di tempat makan. Dalam beberapa kasus yang viral di media sosial, konsumen mendapati adanya satu item khusus dalam struk mereka yang mencantumkan biaya royalti musik dan lagu, dengan nominal yang bervariasi, contohnya sebesar Rp29.140.
Fenomena ini sontak menuai reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk organisasi konsumen dan pengamat hukum. Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, angkat bicara mengenai isu ini. Ia menyatakan bahwa royalti musik memang sedang menjadi isu yang hangat diperbincangkan, namun jika implementasinya sampai membebankan konsumen secara langsung, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Tulus Abadi dengan tegas menyatakan bahwa konsumen berhak menolak membayar royalti musik jika hal tersebut tercantum dalam tagihan mereka.
"Ini case yang menarik. Konsumen mesti menolak jika pihak resto mengenakan komponen musik dalam list harganya," kata Tulus Abadi, Senin (11/8/2025). Penolakan ini didasarkan pada prinsip bahwa konsumen tidak memesan atau meminta lagu tersebut diputar. Dengan kata lain, konsumen datang ke restoran untuk menikmati makanan dan minuman, bukan untuk menikmati pertunjukan musik secara khusus. Oleh karena itu, konsumen tidak memiliki kewajiban untuk membayar royalti musik dan lagu yang diputar di restoran.
Also Read
Tulus Abadi juga menekankan bahwa tindakan restoran yang membebankan royalti musik kepada konsumen bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam undang-undang tersebut, diatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi, termasuk hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai harga barang dan jasa yang ditawarkan. Pembebanan biaya royalti musik secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak konsumen tersebut.
Lebih lanjut, Tulus Abadi menjelaskan bahwa royalti musik seharusnya menjadi tanggung jawab pihak restoran atau pengelola tempat makan. Mereka yang seharusnya membayar royalti kepada pemilik hak cipta lagu yang diputar di tempat mereka. Restoran dapat memperhitungkan biaya royalti ini ke dalam harga makanan dan minuman yang mereka jual, namun tidak dengan membebankannya secara terpisah kepada konsumen.
"Royalti itu urusan antara resto dengan pemilik hak cipta lagu. Konsumen tidak ada urusan dengan itu," tegas Tulus Abadi.
Isu ini juga mendapat perhatian dari kalangan pengamat hukum. Menurut mereka, pembebanan royalti musik kepada konsumen dapat dikategorikan sebagai praktik bisnis yang tidak adil. Konsumen tidak memiliki pilihan untuk tidak mendengarkan musik yang diputar di restoran, sehingga mereka secara tidak langsung dipaksa untuk membayar sesuatu yang tidak mereka inginkan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan memilih yang dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Para pengamat hukum juga menyoroti kurangnya transparansi dalam pembebanan royalti musik ini. Seringkali, konsumen tidak diberikan informasi yang jelas mengenai dasar perhitungan royalti dan pihak-pihak yang berhak menerima royalti tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada praktik pungutan liar atau penyalahgunaan wewenang dalam pengumpulan royalti musik.
Menanggapi isu ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyatakan akan melakukan investigasi terhadap praktik pembebanan royalti musik kepada konsumen. Kemenkumham akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan asosiasi restoran, untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Min Usihen, mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk melindungi hak cipta para musisi dan pencipta lagu. Namun, implementasi royalti musik harus dilakukan secara transparan dan tidak merugikan konsumen. Pemerintah akan mengeluarkan regulasi yang lebih jelas mengenai mekanisme pengumpulan dan pendistribusian royalti musik, sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.
"Kami akan segera mengeluarkan peraturan yang lebih detail mengenai royalti musik ini. Tujuannya adalah agar semua pihak, baik musisi, pengusaha, maupun konsumen, merasa terlindungi," ujar Min Usihen.
Sementara itu, dari pihak pengusaha restoran, Asosiasi Pengusaha Restoran dan Hotel Indonesia (PHRI) menyatakan bahwa mereka memahami kekhawatiran konsumen mengenai pembebanan royalti musik. PHRI akan melakukan sosialisasi kepada anggotanya mengenai mekanisme pembayaran royalti musik yang benar dan transparan. PHRI juga mengimbau kepada anggotanya untuk tidak membebankan royalti musik secara langsung kepada konsumen, melainkan memperhitungkannya ke dalam harga jual produk mereka.
"Kami akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan LMKN untuk mencari solusi terbaik mengenai royalti musik ini. Kami berharap agar isu ini dapat segera diselesaikan dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat," kata Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum PHRI.
Kasus viral royalti musik yang masuk dalam struk restoran ini menjadi momentum penting untuk meninjau kembali sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia. Pemerintah, LMKN, pengusaha, dan konsumen perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang adil dan transparan bagi semua pihak. Implementasi royalti musik harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya royalti musik juga perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu memahami bahwa royalti musik adalah hak para musisi dan pencipta lagu atas karya mereka. Dengan membayar royalti, masyarakat turut berkontribusi dalam mendukung perkembangan industri musik Indonesia.
Namun, di sisi lain, pengelola tempat makan juga harus transparan dan jujur dalam mengelola royalti musik. Mereka harus memastikan bahwa royalti yang mereka bayarkan benar-benar sampai kepada para musisi dan pencipta lagu yang berhak. Pengelola tempat makan juga harus memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai biaya royalti musik yang mereka tanggung.
Dengan adanya transparansi dan keadilan dalam pengelolaan royalti musik, diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus serupa di masa depan. Masyarakat dapat menikmati musik di tempat makan dengan tenang, tanpa merasa dibebani oleh biaya yang tidak jelas. Industri musik Indonesia juga dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara.
Sebagai konsumen yang cerdas, masyarakat juga perlu aktif dalam mengawasi praktik bisnis yang dilakukan oleh pengelola tempat makan. Jika menemukan adanya praktik yang tidak adil atau merugikan, konsumen berhak untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Dengan demikian, konsumen turut berkontribusi dalam menciptakan iklim bisnis yang sehat dan transparan di Indonesia.
Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi para pelaku bisnis untuk selalu mengedepankan etika bisnis dan menghormati hak-hak konsumen. Bisnis yang sukses adalah bisnis yang tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi juga memperhatikan kepentingan konsumen dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, bisnis dapat tumbuh secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.












