Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan tegas menyatakan bahwa rencana pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Silfester Matutina, Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet), tidak akan menghalangi upaya eksekusi terhadap dirinya. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas langkah hukum yang hendak ditempuh oleh Silfester terkait kasus dugaan fitnah yang menjeratnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menjelaskan bahwa pihaknya menghormati hak Silfester Matutina untuk mengajukan PK. "Perkara yang bersangkutan mengajukan upaya hukum PK silahkan saja," ujarnya, menegaskan bahwa proses hukum harus berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Namun, Anang Supriatna dengan jelas menyampaikan bahwa pengajuan PK tersebut tidak akan menunda atau menghentikan proses eksekusi yang telah ditetapkan. "Tapi eksekusi tidak, PK tidak menghentikan eksekusi," tegasnya, memberikan sinyal bahwa Kejagung akan tetap berupaya untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Also Read
Saat ini, tim jaksa eksekutor dari Kejagung tengah melakukan pencarian terhadap Silfester Matutina untuk melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepadanya. Anang Supriatna memastikan bahwa pihaknya akan mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dalam kasus ini. "Kita pastinya akan mengambil langkah-langkah hukum yang nantinya akan memberikan kepastian hukum," jelasnya.
Kasus yang menjerat Silfester Matutina bermula dari laporan keluarga Jusuf Kalla (JK) ke Bareskrim Polri atas dugaan fitnah. Silfester Matutina dituduh menyebarkan informasi bohong yang merugikan nama baik keluarga JK. Tuduhan tersebut terkait dengan pernyataan Silfester Matutina yang menyebutkan bahwa kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh korupsi yang dilakukan oleh keluarga JK. Selain itu, Silfester Matutina juga menuding JK melakukan intervensi dalam Pilkada Jakarta 2017.
Setelah melalui proses hukum yang panjang, Silfester Matutina dinyatakan bersalah dan divonis 1,5 tahun penjara berdasarkan putusan kasasi nomor 287/K/Pid/2019. Putusan ini kemudian menjadi dasar bagi Kejagung untuk melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina.
Pernyataan Kejagung yang tidak mempermasalahkan pengajuan PK oleh Silfester Matutina, namun tetap melanjutkan upaya eksekusi, menunjukkan komitmen lembaga tersebut untuk menegakkan hukum dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan prinsip hukum yang berlaku, di mana upaya hukum seperti PK tidak secara otomatis menunda atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam konteks hukum di Indonesia, Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. PK diajukan kepada Mahkamah Agung dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam undang-undang, seperti adanya bukti baru (novum) yang dapat mempengaruhi putusan pengadilan, atau adanya kekhilafan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Meskipun PK merupakan hak setiap warga negara yang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan, namun pengajuan PK tidak serta merta menunda atau menghentikan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Dalam Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Artinya, selama tidak ada ketentuan undang-undang yang secara khusus mengatur penangguhan atau penghentian pelaksanaan putusan, maka putusan tersebut tetap dapat dilaksanakan meskipun PK sedang diajukan.
Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga kepastian hukum dan mencegah terjadinya penundaan pelaksanaan putusan pengadilan yang dapat merugikan pihak yang berkepentingan. Namun, dalam praktiknya, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menangguhkan pelaksanaan putusan pengadilan jika terdapat alasan yang kuat dan mendesak.
Dalam kasus Silfester Matutina, Kejagung berpendapat bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk menangguhkan pelaksanaan putusan kasasi Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Kejagung tetap berupaya untuk melaksanakan eksekusi terhadap Silfester Matutina, meskipun yang bersangkutan berencana mengajukan PK.
Langkah Kejagung ini mendapat dukungan dari berbagai pihak yang menilai bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Mereka berpendapat bahwa setiap orang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan menjalani hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun, ada juga pihak yang berpendapat bahwa Kejagung seharusnya lebih berhati-hati dalam melaksanakan eksekusi terhadap Silfester Matutina. Mereka menilai bahwa pengajuan PK merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan harus dihormati. Selain itu, mereka juga mengingatkan bahwa dalam proses PK, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengubah putusan pengadilan jika ditemukan adanya kesalahan atau kekhilafan.
Oleh karena itu, mereka berharap agar Kejagung dapat menunda pelaksanaan eksekusi sampai ada putusan PK dari Mahkamah Agung. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kesalahan atau ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Terlepas dari berbagai pendapat yang berbeda, yang jelas adalah bahwa kasus Silfester Matutina ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan perdebatan mengenai penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini juga menjadi ujian bagi Kejagung dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Kejagung harus mampu menunjukkan bahwa setiap tindakan yang diambilnya didasarkan pada hukum dan peraturan yang berlaku, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dapat terus ditingkatkan dan supremasi hukum dapat ditegakkan di Indonesia.
Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat atau informasi di ruang publik. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perkataan atau tindakan yang dilakukannya, terutama jika perkataan atau tindakan tersebut dapat merugikan orang lain.
Kebebasan berekspresi memang dijamin oleh undang-undang, namun kebebasan tersebut harus digunakan secara bertanggung jawab dan tidak melanggar hak-hak orang lain. Dengan demikian, tercipta masyarakat yang harmonis dan saling menghormati.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus Silfester Matutina ini juga mengingatkan kita akan pentingnya peran media massa dalam menyampaikan informasi kepada publik. Media massa harus bertindak sebagai sumber informasi yang akurat, objektif, dan berimbang. Media massa juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami proses hukum dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam menjaga supremasi hukum di Indonesia.
Sebagai penutup, kasus Silfester Matutina ini merupakan bagian dari dinamika penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum, tanpa memandang status sosial atau jabatan. Kasus ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kepastian hukum dan menegakkan supremasi hukum di Indonesia.












