Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen Rismansyah, terkait dengan penetapannya sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Putusan ini mengecewakan tim kuasa hukum Delpedro Marhaen, yang merasa bahwa hak-hak kliennya tidak terpenuhi selama proses penyidikan. Al Ayubbi Harahap, salah satu pengacara Delpedro, menyampaikan kekecewaannya kepada awak media setelah sidang putusan. Ia menyatakan bahwa putusan tersebut mengindikasikan tidak adanya ruang bagi kelompok kritis dan aktivis pro-demokrasi yang aktif mengawasi kebijakan pemerintah di Indonesia.
Kekecewaan tim kuasa hukum ini didasari pada keyakinan bahwa Delpedro Marhaen menjadi korban kriminalisasi politik. Mereka berpendapat bahwa Delpedro dijadikan kambing hitam untuk memberikan justifikasi atas penanganan aksi demonstrasi yang berujung ricuh pada tanggal 25-30 Agustus 2025. Kuasa hukum menilai bahwa aparat penegak hukum tidak serius dalam mengusut tuntas pelaku kerusuhan yang sebenarnya, dan justru mengalihkan perhatian dengan menargetkan aktivis seperti Delpedro.
Menurut Al Ayubbi Harahap, hakim tunggal yang menangani perkara praperadilan ini hanya mempertimbangkan aspek formalitas, yaitu terpenuhinya dua alat bukti yang diajukan oleh penyidik. Padahal, tim kuasa hukum telah menyampaikan dalam permohonan praperadilan bahwa Delpedro Marhaen tidak pernah diperiksa sebagai saksi maupun calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak-hak tersangka dalam proses hukum. Kuasa hukum berpendapat bahwa sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, penyidik wajib memeriksa orang tersebut sebagai saksi untuk memberikan kesempatan membela diri dan memberikan keterangan yang relevan.
Also Read
Penolakan praperadilan ini menambah daftar panjang kasus yang melibatkan aktivis dan kelompok masyarakat sipil yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan adanya pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Banyak pihak menilai bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum cenderung represif terhadap suara-suara yang berbeda dan kritis.
Kasus Delpedro Marhaen ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum. Masyarakat berhak mengetahui secara jelas dan detail mengenai alasan penetapan seseorang sebagai tersangka, serta alat bukti yang digunakan untuk menjeratnya. Selain itu, proses penyidikan harus dilakukan secara profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pihak kepolisian sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait penolakan praperadilan Delpedro Marhaen. Namun, sebelumnya mereka menyatakan bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka didasarkan pada bukti-bukti yang cukup dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Polisi juga membantah tudingan bahwa kasus ini bermotif politik atau kriminalisasi terhadap aktivis.
Kasus ini bermula dari aksi demonstrasi yang berujung ricuh pada tanggal 25-30 Agustus 2025. Aksi tersebut dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat yang menuntut pemerintah untuk membatalkan sejumlah kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Dalam aksi tersebut, terjadi bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan, yang mengakibatkan sejumlah orang terluka dan kerusakan fasilitas publik.
Pihak kepolisian kemudian melakukan penyelidikan untuk mengungkap pelaku kerusuhan. Hasil penyelidikan mengarah pada keterlibatan sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat, termasuk Delpedro Marhaen. Delpedro kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan penghasutan dan provokasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan.
Penetapan Delpedro sebagai tersangka menuai protes dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai bahwa Delpedro tidak bersalah dan hanya menjalankan haknya sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Mereka juga menuding polisi melakukan kriminalisasi terhadap Delpedro karena aktivitasnya sebagai aktivis yang kritis.
Tim kuasa hukum Delpedro kemudian mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam permohonannya, kuasa hukum menilai bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka tidak sah karena tidak memenuhi prosedur hukum yang berlaku. Kuasa hukum juga menuding polisi melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penyidikan.
Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan tersebut. Hakim menilai bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka telah memenuhi prosedur hukum yang berlaku dan didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Dengan ditolaknya praperadilan ini, maka proses hukum terhadap Delpedro Marhaen akan terus berlanjut.
Tim kuasa hukum Delpedro menyatakan akan mengajukan upaya hukum lainnya untuk membela kliennya. Mereka berencana untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung jika diperlukan. Kuasa hukum juga akan terus menggalang dukungan dari masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia untuk menekan pemerintah dan aparat penegak hukum agar menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis.
Kasus Delpedro Marhaen ini menjadi ujian bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan terhadap intervensi dari pihak penguasa. Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya independensi dan imparsialitas lembaga peradilan dalam menangani perkara-perkara yang sensitif dan melibatkan kepentingan politik.
Masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia akan terus mengawasi perkembangan kasus Delpedro Marhaen ini. Mereka berharap agar proses hukum dapat berjalan secara adil dan transparan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mereka juga berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat lebih menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta tidak melakukan kriminalisasi terhadap aktivis dan kelompok masyarakat sipil yang kritis.
Selain Al Ayubbi Harahap, tim kuasa hukum Delpedro Marhaen juga terdiri dari sejumlah pengacara lainnya yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Mereka berkomitmen untuk memberikan pembelaan yang maksimal kepada Delpedro Marhaen dan memastikan bahwa hak-haknya sebagai tersangka terpenuhi selama proses hukum.
Kasus Delpedro Marhaen ini juga mendapat perhatian dari sejumlah organisasi internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Mereka mengecam tindakan kriminalisasi terhadap Delpedro dan mendesak pemerintah Indonesia untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi. Mereka juga menyerukan agar pemerintah Indonesia melakukan penyelidikan yang independen dan imparsial terhadap kasus ini.
Pemerintah Indonesia sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait kecaman dari organisasi internasional tersebut. Namun, sebelumnya pemerintah menyatakan bahwa proses hukum terhadap Delpedro Marhaen dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan tidak ada unsur politisasi di dalamnya. Pemerintah juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kasus Delpedro Marhaen ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak tentang pentingnya menjaga demokrasi dan supremasi hukum. Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Aparat penegak hukum harus bertindak profesional dan imparsial dalam menangani setiap perkara, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau tekanan dari pihak manapun. Lembaga peradilan harus independen dan imparsial dalam memberikan putusan, sehingga keadilan dapat ditegakkan bagi semua pihak.












