Magda Antista, ibu dari Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Rismansyah, mengalami pingsan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah mendengar putusan hakim yang menolak permohonan praperadilan yang diajukan anaknya. Penolakan ini terkait dengan penetapan Delpedro sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait demonstrasi yang berujung ricuh pada tanggal 25-30 Agustus 2025. Kejadian ini menambah panjang daftar kasus yang menimpa aktivis dan pengacara yang kerap bersuara kritis terhadap pemerintah.
Magda, yang hadir di ruang sidang bersama keluarga dan pendukung Delpedro, tidak dapat menahan emosinya ketika hakim membacakan putusan. Sambil menangis histeris, ia berteriak menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah dan hanya membela rakyat. "Anakku nggak bersalah. Anakku hanya membela rakyat. Kenapa kalian zalimi? Ku tuntut kalian di akhirat, Ya Allah," ujarnya dengan nada pilu. Teriakan ini mencerminkan kekecewaan dan kepedihan seorang ibu yang merasa anaknya diperlakukan tidak adil.
Setelah mendengar putusan tersebut, Magda langsung pingsan di pelukan suaminya. Keadaan ini menunjukkan betapa besar tekanan dan kesedihan yang ia rasakan atas situasi yang menimpa putranya. Setelah siuman, ia kembali menangis histeris dan mengungkapkan ketidakpercayaannya bahwa anaknya harus tetap ditahan oleh pihak kepolisian.
Also Read
Kejadian ini memicu berbagai reaksi dari kalangan aktivis, pengacara, dan masyarakat sipil. Banyak yang menyayangkan penolakan praperadilan tersebut dan menilai bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka penuh dengan kejanggalan. Mereka berpendapat bahwa Delpedro, sebagai seorang pengacara dan aktivis, hanya menjalankan tugasnya untuk membela hak-hak masyarakat yang tertindas.
Kasus Delpedro ini menjadi sorotan karena ia dikenal sebagai sosok yang vokal dalam mengkritik kebijakan pemerintah dan membela hak-hak masyarakat sipil. Lokataru, lembaga hukum tempat Delpedro bernaung, juga dikenal aktif dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan marjinal.
Penetapan Delpedro sebagai tersangka dan penolakan praperadilannya dianggap sebagai upaya pembungkaman terhadap suara-suara kritis dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Banyak pihak yang khawatir bahwa kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai independensi lembaga peradilan. Muncul keraguan apakah hakim dalam memutus perkara ini benar-benar independen dan bebas dari tekanan pihak-pihak tertentu. Kekhawatiran ini semakin meningkat mengingat kasus ini melibatkan seorang aktivis yang kerap mengkritik pemerintah.
Pihak kepolisian sendiri berdalih bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka didasarkan pada bukti-bukti yang cukup dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Mereka menyatakan bahwa Delpedro diduga terlibat dalam penghasutan yang menyebabkan terjadinya kericuhan dalam demonstrasi pada bulan Agustus lalu.
Namun, pihak Delpedro membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa ia hanya memberikan bantuan hukum kepada para demonstran yang ditangkap oleh polisi. Mereka juga menuding pihak kepolisian telah melakukan kriminalisasi terhadap Delpedro dengan tujuan untuk membungkamnya.
Kasus ini masih terus berlanjut dan akan memasuki babak baru di pengadilan. Pihak Delpedro berencana untuk mengajukan upaya hukum lainnya untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan telah menjadi korban kriminalisasi.
Sementara itu, Magda Antista, sebagai seorang ibu, terus berjuang untuk membela anaknya. Ia tidak akan menyerah dan akan terus mencari keadilan bagi Delpedro. "Kalian bisa bersenang di atas penderitaan ku Ya Allah. Anakku nggak bersalah," kata Magda sambil menangis histeris.
Kasus Delpedro ini menjadi cermin bagi kondisi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa masih ada upaya-upaya untuk membungkam suara-suara kritis dan mengkriminalisasi aktivis yang membela hak-hak masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa Delpedro mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Selain itu, kasus ini juga menjadi momentum untuk memperkuat independensi lembaga peradilan dan melindungi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Kasus Delpedro Marhaen Rismansyah, Direktur Lokataru, telah menjadi perhatian publik yang signifikan. Penolakan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memicu reaksi emosional dari ibunya, Magda Antista, yang meyakini bahwa anaknya tidak bersalah. Kasus ini menyoroti beberapa isu penting terkait penegakan hukum, kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pertama, kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang definisi dan batasan penghasutan. Delpedro dituduh menghasut massa dalam demonstrasi yang berujung ricuh. Namun, pendukungnya berpendapat bahwa ia hanya menjalankan perannya sebagai pengacara dan aktivis yang memberikan bantuan hukum kepada para demonstran. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan bahwa definisi penghasutan dapat menjadi ambigu dan rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Kedua, kasus ini menyoroti pentingnya independensi lembaga peradilan. Muncul kekhawatiran bahwa hakim dalam kasus Delpedro tidak sepenuhnya independen dan mungkin dipengaruhi oleh tekanan dari pihak-pihak tertentu. Independensi peradilan adalah pilar penting dalam negara hukum yang demokratis. Tanpa independensi, peradilan dapat menjadi alat kekuasaan untuk menekan kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Ketiga, kasus ini mengingatkan kita tentang pentingnya kebebasan berekspresi. Delpedro dikenal sebagai aktivis yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah dan membela hak-hak masyarakat sipil. Penetapannya sebagai tersangka dan penolakan praperadilannya dapat dilihat sebagai upaya untuk membungkam suara-suara kritis dan menakut-nakuti aktivis lainnya. Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dilindungi dalam negara demokrasi.
Keempat, kasus ini menyoroti peran penting masyarakat sipil dalam mengawasi penegakan hukum dan melindungi hak asasi manusia. Kasus Delpedro telah memicu solidaritas dari berbagai kalangan aktivis, pengacara, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka terus mengawal kasus ini dan menuntut keadilan bagi Delpedro. Peran aktif masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan transparan.
Kasus Delpedro juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia masih panjang dan penuh tantangan. Kita harus terus berjuang untuk melindungi kebebasan berekspresi, memperkuat independensi lembaga peradilan, dan memastikan bahwa semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum.
Reaksi histeris Magda Antista, ibu Delpedro, adalah cerminan dari kepedihan dan kekhawatiran seorang ibu yang melihat anaknya menghadapi tuduhan serius. Reaksi ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap kasus hukum, ada manusia dengan keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka. Kita harus selalu memperlakukan setiap orang dengan hormat dan martabat, bahkan mereka yang dituduh melakukan kejahatan.
Kasus Delpedro Marhaen Rismansyah adalah ujian bagi sistem hukum dan komitmen kita terhadap hak asasi manusia. Mari kita terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.













