Rahmat Saleh, seorang anggota Komisi IV DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Barat (Sumbar) dan juga mahasiswa doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta, menyoroti dinamika kontradiktif yang terjadi di ranah pertanian Minangkabau. Di satu sisi, geliat teknologi pertanian digital (agritech) mulai merambah nagari-nagari di Sumbar, dengan startup lokal menawarkan solusi digital bagi petani padi dan cabai sejak tahun 2022. Namun, di sisi lain, adopsi teknologi ini tidak berjalan mulus dan justru menimbulkan kekhawatiran akan kesenjangan sosial dan erosi kedaulatan petani.
Sebagai wakil rakyat yang sering menerima keluhan langsung dari petani, Rahmat Saleh mengungkapkan ironi yang terjadi. "Pak, kami diajari pakai aplikasi, tapi HP saja tak mampu beli!" keluh seorang petani, menggambarkan jurang yang lebar antara idealisme pertanian digital dan realitas ekonomi petani. Di tengah gencarnya promosi pertanian digital, sebagian besar petani di Sumbar belum memiliki akses memadai terhadap perangkat keras (smartphone, tablet) dan koneksi internet yang diperlukan. Daerah-daerah seperti Lembah Anai dan Sianok, yang didominasi oleh petani berusia di atas 45 tahun, menghadapi kesulitan signifikan dalam mengadopsi teknologi baru ini. Keterbatasan literasi digital dan infrastruktur yang belum memadai menjadi penghalang utama.
Rahmat Saleh menekankan bahwa tren ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan mengancam nilai-nilai keseimbangan yang dijunjung tinggi dalam budaya Minangkabau. Prinsip "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah), yang menjadi landasan filosofis masyarakat Minangkabau, harus tetap terjaga dalam transformasi digital pertanian. Jangan sampai modernisasi teknologi justru menggerus kearifan lokal dan merugikan petani kecil.
Also Read
Lebih jauh lagi, Rahmat Saleh menyoroti ancaman kapitalisme data terhadap kedaulatan adat Minangkabau. Transformasi digital dalam pengelolaan agraria berpotensi menggerus fondasi tata kelola adat yang berbasis pada Tungku Tigo Sajarangan (ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai). Tungku Tigo Sajarangan adalah representasi dari tiga pilar utama dalam masyarakat Minangkabau: ninik mamak (pemimpin adat), alim ulama (pemuka agama), dan cadiak pandai (kaum intelektual). Ketiganya memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
Mengadopsi kerangka pemikiran Herbert Marcuse tentang rasionalitas teknologis yang berpotensi represif, Rahmat Saleh berpendapat bahwa praktik korporasi berbasis data, seperti startup pemetaan drone, platform rekomendasi berbasis kecerdasan buatan (AI), dan analisis big data pertanian, telah menghadirkan bentuk perampasan modern (digital enclosure). Hal ini berpotensi mengalihkan kedaulatan masyarakat atas pengetahuan lokal ke tangan aktor kapitalis.
Dalam konteks tanah ulayat, logika efisiensi pasar yang diusung oleh startup seringkali mengabaikan kompleksitas sistem kekerabatan matrilineal (paruik) dan prinsip musyawarah adat yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Data spasial yang dihasilkan dari pemetaan drone, misalnya, berpotensi dikomodifikasi oleh korporasi agribisnis untuk mengakuisisi hak pengelolaan tanah ulayat secara sepihak, tanpa melalui mufakat kaum atau pertimbangan ninik mamak. Akibatnya, petani kehilangan kendali atas sumber daya agraria mereka dan menjadi rentan terhadap eksploitasi.
Persoalan tanah ulayat adalah isu krusial dalam masyarakat Minangkabau. Tanah ulayat adalah tanah yang dimiliki secara komunal oleh suatu kaum (keluarga besar) dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip adat. Sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris utama tanah ulayat. Keputusan terkait pengelolaan tanah ulayat harus diambil melalui musyawarah mufakat antara seluruh anggota kaum, dengan mempertimbangkan nasihat dari ninik mamak.
Masuknya teknologi digital dalam pengelolaan tanah ulayat membawa potensi konflik antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai adat. Logika pasar yang menekankan efisiensi dan keuntungan seringkali bertentangan dengan prinsip kebersamaan dan musyawarah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Minangkabau. Jika tidak dikelola dengan bijak, digitalisasi pertanian dapat memperlebar jurang ketidakadilan dan merusak tatanan sosial yang telah lama terjaga.
Rahmat Saleh menekankan pentingnya mencari solusi yang seimbang dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan ini. Pemerintah daerah, lembaga adat, dan pihak-pihak terkait perlu bekerja sama untuk merumuskan kebijakan yang melindungi hak-hak petani dan menjaga kedaulatan adat Minangkabau. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
- Peningkatan Literasi Digital: Pemerintah perlu mengintensifkan program pelatihan dan pendampingan bagi petani dalam penggunaan teknologi digital. Pelatihan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan petani, dengan bahasa yang mudah dipahami dan materi yang relevan dengan praktik pertanian mereka.
- Penyediaan Akses Internet Terjangkau: Pemerintah perlu berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur internet yang merata di seluruh wilayah Sumbar, terutama di daerah-daerah pedesaan yang terpencil. Subsidi atau program bantuan untuk pembelian perangkat keras (smartphone, tablet) juga dapat dipertimbangkan untuk membantu petani yang kurang mampu.
- Penguatan Kelembagaan Adat: Lembaga-lembaga adat perlu diperkuat perannya dalam mengawasi dan mengendalikan pemanfaatan teknologi digital dalam pengelolaan agraria. Ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan data spasial dan teknologi pertanian lainnya.
- Regulasi yang Berpihak pada Petani: Pemerintah perlu menyusun regulasi yang jelas dan tegas untuk melindungi hak-hak petani dan mencegah praktik perampasan tanah ulayat oleh korporasi agribisnis. Regulasi ini harus memastikan bahwa setiap transaksi terkait tanah ulayat dilakukan secara transparan dan adil, dengan melibatkan seluruh anggota kaum dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat.
- Pengembangan Aplikasi Pertanian yang Berbasis Kearifan Lokal: Startup agritech perlu mengembangkan aplikasi dan platform yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pertanian Minangkabau. Aplikasi ini harus mempertimbangkan kearifan lokal dan praktik pertanian tradisional yang telah terbukti efektif selama berabad-abad.
- Peningkatan Kapasitas Petani: Pemerintah dan lembaga terkait perlu memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani dalam hal manajemen keuangan, pemasaran, dan pengembangan usaha. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing petani dan membantu mereka memperoleh pendapatan yang lebih baik.
Dengan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu, diharapkan pertanian digital dapat memberikan manfaat yang optimal bagi petani Minangkabau tanpa mengorbankan kedaulatan adat dan nilai-nilai budaya yang luhur. Transformasi digital harus menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat ketahanan pangan daerah, bukan menjadi alat untuk mengeksploitasi dan mengasingkan mereka dari tanah leluhur. Keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kearifan lokal adalah kunci untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan berkeadilan di Minangkabau.











