Dewi Oktaviani, Analis Kebijakan Ahli Muda Lembaga Administrasi Negara (LAN), menyoroti pentingnya mengintegrasikan budaya pengasuhan lokal dalam kebijakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode 1.000 HPK, yang sering disebut sebagai golden period, memiliki signifikansi krusial karena pada masa ini, gangguan gizi atau kurangnya perawatan yang memadai dapat menyebabkan dampak jangka panjang yang merugikan. Efektivitas implementasi kebijakan 1.000 HPK seringkali menjadi bahan perdebatan, terutama terkait dengan angka dan indikator seperti persentase stunting, cakupan imunisasi, atau skor gizi balita. Namun, di balik serangkaian data ini, terdapat aspek penting yang seringkali terlupakan, yaitu budaya pengasuhan lokal yang telah berakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat.
Di berbagai wilayah di Indonesia, pola pengasuhan anak seringkali berakar pada kearifan lokal. Contohnya termasuk posyandu gotong royong di desa-desa di Jawa, tradisi menyuapi bersama di Nusa Tenggara Timur, dan pantangan adat bagi ibu hamil di Sumatera, yang sebenarnya didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan alami. Sayangnya, kebijakan modern seringkali mengabaikan nilai-nilai ini, menganggapnya terlalu tradisional atau sulit diukur. Padahal, tanpa pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial-budaya, intervensi apapun akan kehilangan daya hidupnya di tengah masyarakat. Efikasi kebijakan 1.000 HPK tidak hanya bergantung pada aspek teknis kesehatan, tetapi juga pada kemampuan untuk mengakui dan mengintegrasikan bagaimana akar budaya telah memengaruhi cara mengasuh generasi masa depan.
Pemerintah telah berupaya keras untuk mencanangkan program pengasuhan 1.000 HPK sebagai bagian dari upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Berbagai inisiatif telah diluncurkan, termasuk Program Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI), Kelas Orang Tua Hebat (KERABAT), pendampingan keluarga oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK), pemanfaatan Learning Management System (LMS) BKB EMAS, Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA), dan program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Namun, dalam pelaksanaannya, program-program ini seringkali kurang efektif karena adanya kesenjangan antara perumusan kebijakan dan implementasi program di lapangan. Hal ini menunjukkan perlunya penyesuaian dan pendekatan yang lebih kontekstual agar program-program tersebut dapat memberikan dampak yang lebih signifikan.
Also Read
Salah satu isu krusial adalah masih dikesampingkannya budaya lokal dalam program pengasuhan. Penekanan pada integrasi nilai-nilai budaya lokal dalam program pengasuhan 1.000 HPK belum sepenuhnya terwujud. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan Program Bina Keluarga Balita di Provinsi Jambi, warisan nilai kearifan lokal seperti seloko adat, yaitu ungkapan tradisional yang kaya makna dan telah diwariskan secara turun-temurun sebagai pedoman pengasuhan, pendidikan karakter, serta penegakan norma keluarga, belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, peran lembaga adat dan para pemangku adat juga belum dilibatkan secara optimal, padahal mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku keluarga dan komunitas.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan partisipatif dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan 1.000 HPK. Pemerintah perlu melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para pemangku adat dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi program. Selain itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang budaya pengasuhan lokal di berbagai daerah di Indonesia, sehingga kebijakan yang dirumuskan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat.
Penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya 1.000 HPK dan bagaimana budaya pengasuhan lokal dapat berkontribusi positif terhadap tumbuh kembang anak. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk media massa, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan.
Selain itu, perlu ada upaya untuk memperkuat sistem pendukung bagi keluarga, seperti posyandu, puskesmas, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Sistem pendukung ini harus dilengkapi dengan sumber daya yang memadai dan tenaga kesehatan yang terlatih, sehingga dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Lebih lanjut, teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung program 1.000 HPK. Aplikasi seluler dan platform daring dapat digunakan untuk memberikan informasi dan edukasi tentang pengasuhan anak, gizi, dan kesehatan kepada masyarakat. Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk memantau tumbuh kembang anak dan memberikan intervensi dini jika ditemukan masalah.
Keberhasilan program 1.000 HPK membutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Pemerintah memiliki peran utama dalam merumuskan kebijakan dan menyediakan sumber daya yang memadai. Masyarakat memiliki peran penting dalam melaksanakan program dan memberikan dukungan kepada keluarga. Sektor swasta dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berfokus pada kesehatan dan pendidikan anak.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan partisipatif, diharapkan program 1.000 HPK dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Anak-anak yang mendapatkan pengasuhan yang baik pada 1.000 HPK akan tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan produktif, yang akan berkontribusi positif terhadap pembangunan bangsa.
Dewi Oktaviani menekankan bahwa mengabaikan kearifan lokal dalam kebijakan publik, khususnya dalam program 1.000 HPK, adalah sebuah kerugian besar. Kearifan lokal bukan sekadar tradisi yang usang, melainkan juga sumber daya yang berharga yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas program. Dengan mengintegrasikan budaya pengasuhan lokal dalam kebijakan 1.000 HPK, pemerintah dapat menciptakan program yang lebih relevan, efektif, dan berkelanjutan. Hal ini akan membawa manfaat yang besar bagi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia, serta bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan. Penting untuk diingat bahwa keberhasilan program 1.000 HPK adalah investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Melalui sinergi antara data ilmiah dan kearifan budaya, kita dapat menciptakan generasi penerus yang sehat, cerdas, dan berdaya saing global.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik, dari pendekatan yang top-down dan seragam menjadi pendekatan yang bottom-up dan kontekstual. Pemerintah perlu lebih mendengarkan suara masyarakat, memahami kebutuhan dan aspirasi mereka, dan melibatkan mereka dalam setiap tahap pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebijakan publik akan lebih relevan, efektif, dan berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh masyarakat. Integrasi budaya dalam kebijakan publik bukan hanya sekadar pilihan, melainkan juga sebuah keharusan untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berbudaya.












