Kebijakan kontroversial Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% telah memicu gelombang protes dari masyarakat. Kenaikan pajak yang signifikan ini, yang diklaim sebagai upaya penyesuaian setelah 14 tahun tanpa revisi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, implementasinya dianggap memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Di tengah polemik ini, sorotan publik beralih pada harta kekayaan Sudewo, yang terungkap mencapai Rp31,5 miliar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2025.
Data LHKPN menunjukkan bahwa total harta kekayaan Bupati Sudewo mencapai Rp31.519.711.746. Jumlah ini terdiri dari berbagai aset, termasuk properti, kendaraan, surat berharga, serta kas dan setara kas. Komposisi harta kekayaan Sudewo yang beragam ini menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat, terutama terkait dengan relevansinya dengan kebijakan kenaikan PBB-P2 yang dianggap memberatkan.
Aset properti menjadi penyumbang terbesar dalam total harta kekayaan Sudewo. Tercatat, ia memiliki 31 aset properti berupa tanah dan/atau bangunan yang tersebar di berbagai daerah, dengan total nilai mencapai Rp17.030.885.000. Lokasi properti tersebut meliputi Surakarta, Pacitan, Yogyakarta, Bogor, Wonogiri, Depok, Blora, Tuban, dan Pati. Diversifikasi lokasi properti ini menunjukkan investasi yang tersebar di berbagai wilayah, yang mungkin mencerminkan strategi pengelolaan aset yang matang.
Also Read
Salah satu aset properti dengan nilai tertinggi adalah tanah dan bangunan seluas 639 m2/393 m2 yang terletak di Bogor, dengan nilai mencapai Rp3,6 miliar. Nilai properti yang signifikan ini mencerminkan potensi investasi properti di wilayah Bogor, yang dikenal sebagai kawasan penyangga Jakarta dengan perkembangan pesat. Kepemilikan aset properti di berbagai lokasi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang sumber pendanaan dan bagaimana aset-aset tersebut dikelola.
Selain properti, Sudewo juga memiliki sejumlah kendaraan yang signifikan. Tercatat, ia memiliki 8 unit kendaraan, terdiri dari 6 unit mobil dan 2 unit motor, dengan total nilai mencapai Rp6.336.050.000. Kepemilikan kendaraan mewah seperti BMW X5 keluaran tahun 2023 dan Toyota Land Cruiser keluaran tahun 2019, yang masing-masing bernilai Rp1,9 miliar, turut menjadi sorotan. Keberadaan kendaraan-kendaraan mewah ini menimbulkan pertanyaan tentang gaya hidup dan prioritas pengeluaran seorang pejabat publik.
Selain aset properti dan kendaraan, Sudewo juga memiliki harta bergerak lain senilai Rp795 juta, surat-surat berharga senilai Rp5.397.500.000, serta kas dan setara kas senilai Rp1.960.276.746. Kombinasi aset-aset ini menunjukkan diversifikasi investasi yang cukup baik, yang mencerminkan pemahaman tentang pengelolaan keuangan yang komprehensif. Surat-surat berharga, misalnya, dapat memberikan potensi pendapatan pasif melalui dividen atau capital gain. Sementara itu, kas dan setara kas dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sehari-hari atau untuk investasi jangka pendek.
Kenaikan PBB-P2 yang mencapai 250% telah memicu reaksi keras dari masyarakat Pati. Banyak warga yang merasa keberatan dengan kenaikan pajak yang dianggap terlalu tinggi dan memberatkan, terutama bagi mereka yang memiliki pendapatan terbatas. Kenaikan ini juga dianggap tidak proporsional dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini, yang masih berjuang untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Protes terhadap kenaikan PBB-P2 ini semakin meluas, dengan rencana aksi demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh warga dan mahasiswa. Mereka menuntut agar kebijakan kenaikan pajak tersebut ditinjau kembali atau bahkan dibatalkan, karena dianggap tidak adil dan memberatkan. Aksi demonstrasi ini menunjukkan tingkat ketidakpuasan masyarakat yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Di tengah gelombang protes yang semakin membesar, Bupati Sudewo justru menantang warga yang menolak kenaikan PBB-P2. Ia bahkan menyatakan tidak gentar meskipun ada 50 ribu orang yang melakukan demonstrasi. Pernyataan ini justru semakin memicu kemarahan masyarakat, yang menganggapnya arogan dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Tantangan yang dilontarkan oleh Bupati Sudewo ini dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap aspirasi masyarakat. Sebagai seorang pemimpin, seharusnya ia mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyatnya, bukan justru menantang dan meremehkan mereka. Pernyataan ini juga menunjukkan kurangnya empati terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sedang kesulitan.
Kontroversi kenaikan PBB-P2 ini semakin memperburuk citra Bupati Sudewo di mata masyarakat. Banyak yang menilai bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara mayoritas masyarakat justru menjadi korban. Kenaikan pajak yang signifikan ini juga dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sosial, di mana beban ekonomi semakin berat dipikul oleh masyarakat kecil.
Selain itu, sorotan terhadap harta kekayaan Bupati Sudewo juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Masyarakat berhak mengetahui asal-usul harta kekayaan para pemimpinnya, serta bagaimana mereka mengelola keuangan negara. LHKPN seharusnya menjadi alat untuk memastikan bahwa pejabat publik tidak melakukan praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Namun, dalam kasus Bupati Sudewo, pengungkapan harta kekayaan justru menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Masyarakat ingin mengetahui bagaimana ia memperoleh aset-aset tersebut, apakah ada konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan daerah, dan apakah ia telah membayar pajak dengan benar. Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kenaikan PBB-P2 di Pati ini menjadi contoh kasus yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kebijakan ini menunjukkan bagaimana sebuah keputusan yang seharusnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah justru dapat memicu konflik dan ketidakpuasan masyarakat. Penting bagi pemerintah daerah untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan yang diambil, serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana para pemimpinnya mengelola keuangan negara dan harta kekayaan pribadi mereka. LHKPN seharusnya menjadi alat untuk mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Polemik kenaikan PBB-P2 di Pati ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah lainnya. Setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan politik. Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pejabat publik juga merupakan kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. LHKPN harus diakses dengan mudah oleh publik, dan pejabat publik harus bersedia memberikan penjelasan yang jujur dan transparan tentang asal-usul harta kekayaan mereka. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta pemerintahan yang bersih, jujur, dan berpihak kepada rakyat.
Kasus Bupati Pati Sudewo ini menjadi pengingat bagi seluruh pejabat publik di Indonesia. Jabatan publik adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Pejabat publik harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kebijakan yang diambil harus adil, transparan, dan akuntabel, serta didasarkan pada pertimbangan yang matang.
Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta pemerintahan yang bersih, jujur, dan berwibawa, serta mampu membawa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan yang merata. Kasus Bupati Pati Sudewo ini harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan sistem pemerintahan di Indonesia, agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa depan.















