Menteri Kebudayaan dan Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, secara tegas membantah anggapan bahwa Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, adalah pelaku genosida dalam peristiwa 1965-1966. Pernyataan ini disampaikan di tengah diskusi mengenai kelayakan Soeharto untuk menerima gelar pahlawan nasional, sebuah isu yang terus memicu perdebatan di kalangan sejarawan, politisi, dan masyarakat umum. Fadli Zon berpendapat bahwa tidak ada bukti yang pernah diajukan yang secara meyakinkan menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam tindakan genosida.
"Enggak pernah ada buktinya kan, enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu," ujar Fadli Zon kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada hari Rabu, 5 November 2025. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan kuatnya bahwa tuduhan terhadap Soeharto tidak berdasar dan tidak memiliki dasar faktual yang kuat.
Lebih lanjut, Fadli Zon juga membantah keterlibatan Soeharto dalam Gerakan 30 September (G30S/PKI), sebuah peristiwa yang menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Ia menantang pihak-pihak yang menuduh Soeharto untuk memberikan bukti yang konkret dan valid. "Ya, apa faktanya apa? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta dan data gitu. Ada enggak? Enggak ada kan? Saya kira itu," tegasnya. Menurutnya, diskusi mengenai sejarah harus didasarkan pada fakta dan data yang dapat diverifikasi, bukan pada spekulasi atau asumsi yang tidak berdasar.
Also Read
Fadli Zon justru menyoroti jasa-jasa Soeharto selama menjabat sebagai presiden, terutama perannya dalam Serangan Umum 1 Maret, sebuah peristiwa penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Serangan Umum 1 Maret dianggap sebagai momen penting yang menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan berjuang untuk kedaulatannya. Fadli Zon berpendapat bahwa kontribusi Soeharto dalam peristiwa ini, serta berbagai pencapaian lainnya selama masa kepemimpinannya, harus dipertimbangkan dalam menilai kelayakannya untuk menerima gelar pahlawan nasional.
Pernyataan Fadli Zon ini tentu saja memicu berbagai reaksi dari berbagai pihak. Para pendukung Soeharto menyambut baik pembelaan Fadli Zon dan menganggapnya sebagai upaya untuk meluruskan sejarah dan memberikan penghargaan yang layak kepada mantan presiden tersebut. Mereka berpendapat bahwa Soeharto telah berjasa besar dalam membangun dan memajukan Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Di sisi lain, para kritikus Soeharto tetap bersikukuh dengan pandangan mereka bahwa Soeharto bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia selama masa Orde Baru, termasuk pembantaian massal 1965-1966, penahanan politik tanpa pengadilan, dan pembungkaman kebebasan pers. Mereka berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan mengkhianati nilai-nilai keadilan dan demokrasi, serta melukai perasaan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Perdebatan mengenai peran Soeharto dalam sejarah Indonesia memang sangat kompleks dan sensitif. Peristiwa 1965-1966 merupakan tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan orang. Tragedi ini juga berdampak besar pada kehidupan sosial, politik, dan budaya Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada konsensus yang jelas mengenai penyebab dan pelaku utama tragedi 1965-1966. Sebagian pihak menuding PKI sebagai dalang utama, sementara pihak lain menuding militer dan kelompok-kelompok anti-komunis. Ada juga pihak yang berpendapat bahwa tragedi ini merupakan hasil dari konspirasi internasional yang bertujuan untuk menggulingkan Soekarno dan menggantinya dengan rezim yang lebih pro-Barat.
Dalam konteks ini, pernyataan Fadli Zon mengenai Soeharto sebagai pelaku genosida menjadi sangat kontroversial. Istilah "genosida" sendiri memiliki makna yang sangat spesifik dalam hukum internasional, yaitu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. Untuk membuktikan adanya genosida, diperlukan bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan kelompok tertentu.
Hingga saat ini, belum ada pengadilan atau lembaga internasional yang secara resmi menyatakan bahwa Soeharto bersalah atas genosida. Namun, berbagai laporan dan penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat selama masa Orde Baru, termasuk pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan paksa, dan penahanan politik tanpa pengadilan. Pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga menjadi isu yang sangat sensitif. Gelar pahlawan nasional merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh negara kepada individu yang dianggap telah berjasa besar bagi bangsa dan negara. Pemberian gelar ini harus didasarkan pada kriteria yang jelas dan transparan, serta mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk rekam jejak, kontribusi, dan dampak positif bagi masyarakat.
Dalam kasus Soeharto, pemberian gelar pahlawan nasional akan menimbulkan dilema etis dan moral. Di satu sisi, Soeharto dianggap telah berjasa dalam membangun dan memajukan Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, Soeharto juga dianggap bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM selama masa Orde Baru. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dapat diartikan sebagai pengabaian terhadap nilai-nilai keadilan dan demokrasi, serta melukai perasaan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan dengan sangat hati-hati berbagai aspek sebelum memutuskan untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Proses pengambilan keputusan harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk sejarawan, aktivis HAM, dan perwakilan masyarakat sipil. Pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak dari keputusan tersebut terhadap rekonsiliasi nasional dan penegakan hukum.
Perdebatan mengenai peran Soeharto dalam sejarah Indonesia merupakan bagian dari proses pendewasaan bangsa. Bangsa Indonesia harus berani menghadapi masa lalu dengan jujur dan terbuka, serta belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi. Rekonsiliasi nasional hanya dapat dicapai jika semua pihak bersedia mengakui kesalahan dan memaafkan satu sama lain. Penegakan hukum juga harus dilakukan secara adil dan transparan, tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, pernyataan Fadli Zon mengenai Soeharto sebagai pelaku genosida dan kelayakannya untuk menerima gelar pahlawan nasional merupakan bagian dari perdebatan yang lebih besar mengenai sejarah Indonesia dan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM. Perdebatan ini harus dilakukan secara konstruktif dan bertanggung jawab, dengan mengedepankan fakta dan data yang valid, serta menghormati perbedaan pendapat. Bangsa Indonesia harus belajar dari masa lalu agar dapat membangun masa depan yang lebih baik.











