Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan penjelasan komprehensif mengenai alasan di balik keputusan untuk tidak menetapkan banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatera Barat (Sumbar) sebagai bencana nasional. Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional bukanlah keputusan yang diambil secara sembarangan, melainkan melalui serangkaian pertimbangan matang yang berlandaskan pada skala dampak dan kemampuan penanggulangan.
Suharyanto memulai penjelasannya dengan memberikan konteks historis mengenai penetapan status bencana nasional di Indonesia. Ia menyoroti bahwa sepanjang sejarah Indonesia, hanya dua peristiwa yang secara resmi ditetapkan sebagai bencana nasional, yaitu pandemi COVID-19 dan tsunami Aceh tahun 2004. Keputusan untuk menetapkan kedua peristiwa tersebut sebagai bencana nasional didasarkan pada dampak yang luar biasa luas, korban jiwa yang sangat besar, dan tantangan yang signifikan dalam penanggulangan yang memerlukan mobilisasi sumber daya nasional secara besar-besaran.
"Ini masih dalam diskusi ya. Kita tidak perlu diskusi panjang lebar ya, yang dimaksud dengan status bencana nasional yang pernah ditetapkan oleh Indonesia itukan Covid-19 dan Tsunami 2004. Cuma dua itu yang bencana nasional. Sementara setelah itu banyak terjadi bencana gempa Palu, gempa NTB kemudian gempa Cianjur (bukan bencana nasional)," kata Suharyanto, menekankan bahwa meskipun Indonesia sering dilanda bencana alam dengan skala yang bervariasi, tidak semuanya memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai bencana nasional. Gempa Palu, gempa NTB, dan gempa Cianjur, meskipun menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang signifikan, ditangani sebagai bencana daerah dengan dukungan dari pemerintah pusat.
Also Read
Lebih lanjut, Suharyanto menjelaskan bahwa penetapan status bencana nasional mempertimbangkan beberapa faktor kunci, termasuk skala korban jiwa, tingkat kerusakan infrastruktur, luas wilayah yang terdampak, dan yang sangat penting, tingkat kesulitan akses ke lokasi bencana. Kesulitan akses dapat menghambat upaya penyelamatan, penyaluran bantuan, dan evakuasi korban, sehingga memerlukan koordinasi dan mobilisasi sumber daya yang lebih besar di tingkat nasional.
Suharyanto kemudian membandingkan situasi bencana banjir dan longsor di Sumatera dengan bencana-bencana lain yang pernah terjadi di Indonesia. Ia mengakui bahwa pada awalnya, situasi di Sumatera tampak mencekam, terutama dengan banyaknya informasi yang beredar di media sosial yang menggambarkan kondisi yang sulit dan terisolasi. Namun, setelah tim BNPB dan media turun langsung ke lapangan, terlihat bahwa situasi tidak separah yang diperkirakan. Akses ke lokasi bencana relatif lebih mudah, dan curah hujan telah berkurang, sehingga memungkinkan upaya penanggulangan dilakukan dengan lebih efektif.
"Mungkin dari skala korban ya, kemudian juga kesulitan akses, rekan-rekan media bisa bandingkan saja dengan kejadian sekarang ini. Memang kemarin kelihatannya mencekam ya, kan berseliweran di media sosial, nggak bisa bertemu segala macam. Tapi begitu sampai ke sini sekarang rekan media tadi hadir di lokasi kemudian tidak hujan," ujarnya, menekankan pentingnya verifikasi informasi dan penilaian lapangan yang akurat dalam menentukan skala dan dampak bencana.
Suharyanto juga menyoroti situasi di Sumatera Utara, yang pada awalnya dilaporkan mengalami dampak yang paling parah. Namun, setelah dilakukan evaluasi lebih lanjut, ditemukan bahwa sebagian besar wilayah telah berangsur pulih, dan hanya Tapanuli Tengah yang masih menghadapi tantangan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dampak bencana tidak merata di seluruh wilayah Sumatera, dan upaya penanggulangan dapat difokuskan pada daerah-daerah yang paling membutuhkan bantuan.
"Coba di Sumatera Utara yang kemarin kelihatannya mencekam kan sekarang yang menjadi hal yang sangat serius tinggal Tapanuli Tengah. Daerah lainnya kelihatannya relatif masyarakatnya kita lihat lah, jadi saya tidak perlu menyampaikan apakah perlu tidaknya status darurat bencana nasional atau daerah tapi sekarang statusnya masih bencana daerah tingkat provinsi," ungkapnya, menegaskan bahwa berdasarkan penilaian saat ini, status bencana di Sumatera masih berada dalam kategori bencana daerah tingkat provinsi.
Meskipun demikian, Suharyanto menegaskan komitmen penuh pemerintah pusat untuk mendukung pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana di Sumatera. Ia menyatakan bahwa BNPB, TNI, Polri, dan instansi terkait lainnya siap memberikan bantuan yang diperlukan untuk memastikan bahwa korban bencana mendapatkan pertolongan yang memadai dan proses pemulihan dapat berjalan dengan lancar.
Suharyanto menekankan bahwa pemerintah pusat tidak akan tinggal diam dan akan terus memantau situasi di Sumatera. Jika kondisi memburuk dan memerlukan intervensi yang lebih besar, pemerintah pusat siap untuk meningkatkan status bencana menjadi bencana nasional. Namun, untuk saat ini, pemerintah meyakini bahwa pemerintah daerah mampu menangani situasi tersebut dengan dukungan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Penjelasan BNPB mengenai alasan tidak ditetapkannya banjir dan longsor di Sumatera sebagai bencana nasional mencerminkan pendekatan yang hati-hati dan berbasis data dalam penanggulangan bencana. Pemerintah tidak ingin terburu-buru menetapkan status bencana nasional tanpa mempertimbangkan secara matang dampaknya terhadap alokasi sumber daya dan koordinasi antar lembaga.
Keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional juga dapat dilihat sebagai upaya untuk memberdayakan pemerintah daerah dalam menangani bencana yang terjadi di wilayah mereka. Dengan memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah, diharapkan mereka dapat mengembangkan kapasitas dan kemampuan untuk merespons bencana dengan lebih cepat dan efektif.
Namun, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kriteria yang jelas dan transparan untuk menetapkan status bencana nasional. Masyarakat perlu memahami secara rinci faktor-faktor apa saja yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan ini, sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan spekulasi.
Pemerintah perlu terus meningkatkan komunikasi publik mengenai penanggulangan bencana, termasuk memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai status bencana, upaya penanggulangan yang sedang dilakukan, dan bantuan yang tersedia bagi korban bencana. Hal ini akan membantu membangun kepercayaan masyarakat dan memastikan bahwa semua pihak dapat bekerja sama untuk mengurangi risiko bencana.
Selain itu, pemerintah perlu berinvestasi dalam sistem peringatan dini yang lebih canggih dan efektif, sehingga masyarakat dapat lebih siap menghadapi bencana alam. Sistem peringatan dini yang baik dapat memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk melakukan evakuasi dan mengurangi risiko korban jiwa.
Pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi antar lembaga dan meningkatkan kapasitas petugas penanggulangan bencana di tingkat daerah. Pelatihan dan simulasi yang rutin dapat membantu petugas untuk merespons bencana dengan lebih cepat dan efektif.
Terakhir, pemerintah perlu terus berupaya untuk mengurangi risiko bencana melalui berbagai program mitigasi, seperti penghijauan, penataan ruang yang lebih baik, dan pembangunan infrastruktur yang tahan bencana. Dengan mengurangi risiko bencana, kita dapat melindungi masyarakat dan mengurangi dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh bencana alam.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi, Indonesia dapat menjadi negara yang lebih tangguh dalam menghadapi bencana alam dan melindungi masyarakat dari dampaknya. Penjelasan BNPB mengenai status bencana di Sumatera adalah langkah penting dalam membangun pemahaman yang lebih baik tentang penanggulangan bencana dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana.














