Banjir dan longsor besar yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukan sekadar berita duka—ia adalah “laporan audit” yang ditulis alam dengan tinta lumpur. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu 30 November menyatakan jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Sumatera mencapai 316 orang, dan 289 orang dilaporkan hilang. Tragedi ini menjadi pengingat pahit akan konsekuensi jangka panjang dari eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali, di mana keuntungan sesaat mengorbankan keberlanjutan ekosistem dan keselamatan masyarakat. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan hasil dari akumulasi kerusakan lingkungan yang telah lama diabaikan.
Secara ilmiah, hubungan antara deforestasi dan bencana hidrometeorologi bukan mitos aktivis—itu mekanika lanskap. Hutan tropis berfungsi seperti “infrastruktur hijau”: kanopi menahan intensitas hujan, akar memperkuat tanah, serasah meningkatkan infiltrasi, dan bentang alam memperlambat limpasan. Hutan bukan hanya kumpulan pepohonan, melainkan sebuah sistem kompleks yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan hidrologi dan mencegah terjadinya bencana alam. Keberadaan hutan yang sehat memastikan air hujan terserap dengan baik ke dalam tanah, mengurangi risiko limpasan permukaan yang dapat menyebabkan banjir dan erosi.
Ketika tutupan hutan dibuka (untuk jalan, kebun skala besar, tambang, ataupun pembalakan), air hujan lebih cepat menjadi limpasan; erosi meningkat; sungai tersedimentasi; kapasitas tampung turun; dan di lereng curam, longsor menjadi lebih mungkin. Aktivitas-aktivitas tersebut menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga alami, sehingga air hujan langsung mengalir ke permukaan tanah tanpa ada hambatan. Hal ini menyebabkan peningkatan erosi tanah, yang kemudian mengendap di sungai dan mengurangi kapasitas tampungnya. Akibatnya, ketika hujan deras terjadi, sungai tidak mampu menampung volume air yang besar dan meluap, menyebabkan banjir.
Also Read
Cuaca ekstrem tetap penting, tetapi ia berubah dari “hujan lebat” menjadi “banjir bandang” karena lanskap kehilangan peredamnya. Perubahan iklim memang memainkan peran dalam meningkatkan intensitas curah hujan, namun dampaknya akan jauh lebih buruk jika ekosistem tidak memiliki kemampuan untuk menyerap dan menahan air. Deforestasi dan kerusakan lingkungan lainnya menghilangkan kemampuan alami lanskap untuk meredam dampak cuaca ekstrem, sehingga hujan lebat yang seharusnya tidak menimbulkan masalah besar, berubah menjadi bencana banjir bandang.
Di Sumatera Barat, WALHI menegaskan bencana ini “bencana ekologis, bukan bencana alam,” sambil mengaitkannya dengan rusaknya hulu DAS dan lemahnya penegakan tata ruang. Mereka juga memaparkan angka kehilangan tutupan hutan yang besar: 320 ribu hektare hutan primer lembap hilang (2001–2024), dan deforestasi 2024 sekitar 32 ribu hektare. Kerusakan lingkungan di Sumatera Barat telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan hilangnya ratusan ribu hektar hutan primer. Hal ini menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem dan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam. Lemahnya penegakan hukum dan tata ruang juga menjadi faktor penting yang mempercepat kerusakan lingkungan di wilayah ini.
Ketika indikator ekologis separah itu, yang “meledak” di hilir hanyalah konsekuensi yang tertunda. Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera Barat adalah konsekuensi logis dari kerusakan lingkungan yang telah lama diabaikan. Kerusakan hutan di hulu sungai menyebabkan peningkatan limpasan permukaan dan erosi, yang kemudian menyebabkan sedimentasi sungai dan pengurangan kapasitas tampungnya. Akibatnya, ketika hujan deras terjadi, sungai tidak mampu menampung volume air yang besar dan meluap, menyebabkan banjir yang merusak.
Di Aceh, nada serupa juga muncul. WALHI Aceh menyebut banjir berulang sebagai hasil akumulasi deforestasi, ekspansi sawit, aktivitas tambang, hingga PETI, serta menyorot kerusakan DAS (termasuk DAS Krueng Peusangan) yang berdampak ke wilayah hilir. Pola yang sama juga terlihat di Aceh, di mana deforestasi, ekspansi perkebunan kelapa sawit, aktivitas pertambangan ilegal, dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) menjadi penyebab utama banjir berulang. Aktivitas-aktivitas ini telah merusak ekosistem dan mengurangi kemampuan alami lanskap untuk menyerap air hujan.
Mereka juga mencatat sedimentasi sungai mempercepat luapan saat hujan deras. Sedimentasi sungai adalah masalah serius yang memperburuk risiko banjir. Endapan lumpur dan pasir yang berasal dari erosi tanah mengurangi kapasitas tampung sungai, sehingga sungai lebih mudah meluap saat hujan deras. Sedimentasi juga dapat merusak infrastruktur sungai, seperti bendungan dan saluran irigasi, sehingga memperburuk dampak banjir.
Ini tentu poin penting di mana kerusakan hutan dan sekaligus lingkungan sungai adalah “dua bilah gunting” yang sama-sama memotong daya tampung ekosistem. Kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan sungai adalah dua masalah yang saling terkait dan memperburuk satu sama lain. Kerusakan hutan menyebabkan peningkatan erosi tanah, yang kemudian menyebabkan sedimentasi sungai. Sedimentasi sungai mengurangi kapasitas tampung sungai, sehingga sungai lebih mudah meluap saat hujan deras. Kedua masalah ini harus ditangani secara bersamaan untuk memulihkan daya tampung ekosistem dan mengurangi risiko banjir.
Tragedi banjir besar di Sumatera adalah panggilan mendesak untuk perubahan paradigma dalam pengelolaan lingkungan. Kita tidak bisa lagi mengabaikan konsekuensi jangka panjang dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menghentikan deforestasi, memulihkan ekosistem yang rusak, dan menerapkan praktik pembangunan yang berkelanjutan. Penegakan hukum yang tegas juga diperlukan untuk mencegah aktivitas ilegal yang merusak lingkungan.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak negatif dari kerusakan lingkungan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pelestarian lingkungan dan diberikan akses informasi yang akurat tentang risiko bencana alam. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan formal dan informal.
Pemerintah juga perlu berinvestasi dalam sistem peringatan dini bencana yang efektif dan infrastruktur mitigasi bencana. Sistem peringatan dini yang akurat dan tepat waktu dapat memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk mengungsi dan mengurangi risiko korban jiwa. Infrastruktur mitigasi bencana, seperti bendungan, tanggul, dan saluran drainase, dapat membantu mengurangi dampak banjir dan longsor.
Namun, yang terpenting adalah perubahan pola pikir. Kita harus berhenti melihat alam sebagai sumber daya yang tak terbatas yang dapat dieksploitasi demi keuntungan sesaat. Sebaliknya, kita harus menghargai alam sebagai bagian integral dari kehidupan kita dan menyadari bahwa kesejahteraan kita bergantung pada keseimbangan ekosistem. Kita harus beralih dari paradigma "untung cepat" ke paradigma keberlanjutan jangka panjang.
Banjir besar di Sumatera adalah pengingat yang menyakitkan bahwa alam akan selalu menuntut pertanggungjawaban atas tindakan kita. Jika kita terus mengabaikan peringatan alam, kita akan terus menuai bencana yang lebih dahsyat di masa depan. Sudah saatnya kita bertindak sekarang untuk melindungi lingkungan dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Tragedi ini harus menjadi momentum untuk perubahan yang mendalam dan berkelanjutan dalam cara kita berinteraksi dengan alam. Hanya dengan menghormati dan menjaga lingkungan, kita dapat menghindari bencana serupa di masa depan dan membangun masa depan yang lebih aman dan sejahtera bagi semua.
Perdana Wahyu Santosa, Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute.











