Oleh: Dr. Muhtadi (Wakil Dekan Fdikom UIN Jakarta; Yudhiarma MK, M.Si, mahasiswa S3 UIN Jakarta)
Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, bangsa ini dihadapkan pada serangkaian tantangan kompleks yang menguji ketahanan dan kemampuan kita untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati. Di antara berbagai permasalahan yang mendesak untuk diatasi, isu kemiskinan menonjol sebagai salah satu yang paling krusial dan membutuhkan perhatian serius dari seluruh elemen bangsa. Data dan laporan dari berbagai lembaga, termasuk Bank Dunia, memberikan gambaran yang mengkhawatirkan tentang peningkatan angka kemiskinan di Indonesia, yang mengindikasikan perlunya strategi dan solusi yang lebih efektif dan inovatif.
Menurut data yang dilansir oleh Bank Dunia, dengan menggunakan standar paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka yang mencengangkan, yaitu 194,72 juta jiwa atau setara dengan 68,3% dari total populasi pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan standar 2017 PPP, di mana jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 171,91 juta jiwa. Kenaikan sebesar 22,81 juta orang miskin dalam kurun waktu tersebut merupakan indikasi yang jelas bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil yang optimal dan masih jauh dari harapan.
Also Read
Selain masalah kemiskinan, isu partisipasi pendidikan juga menjadi perhatian serius. Meskipun angka partisipasi sekolah di usia dini menunjukkan tren yang positif dan menggembirakan, namun pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi, angka partisipasi masih relatif rendah. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor kompleks, termasuk faktor ekonomi, aksesibilitas terhadap fasilitas pendidikan, dan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Bagi banyak keluarga di daerah terpencil dan kurang mampu, biaya pendidikan menjadi beban yang berat dan seringkali memaksa anak-anak mereka untuk putus sekolah dan mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Selain itu, keterbatasan akses terhadap sekolah dan fasilitas pendidikan yang berkualitas juga menjadi hambatan bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan juga menjadi faktor yang signifikan, terutama di kalangan masyarakat yang kurang terinformasi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan mulai mengalami penurunan yang signifikan di jenjang sekolah menengah atas. Sementara itu, pada tingkat usia dini, angka partisipasi mencapai tingkat yang tinggi, dengan rata-rata nasional berkisar antara 70-85%. Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi dengan tingkat partisipasi tertinggi di Indonesia, mencapai angka 84,40%. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini semakin meningkat di kalangan masyarakat, namun tantangan tetap ada dalam memastikan keberlanjutan pendidikan anak-anak hingga jenjang yang lebih tinggi.
Di bidang kesehatan, persentase penduduk yang memiliki keluhan kesehatan telah menunjukkan penurunan pada tahun 2023. Namun, masih terdapat 15 provinsi yang memiliki angka persentase regional yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Bahkan, lima provinsi dengan tingkat persentase tertinggi berada pada rentang angka di atas 30%, yang mengindikasikan bahwa masalah kesehatan masih menjadi isu yang serius di wilayah-wilayah tersebut. Faktor-faktor seperti akses terhadap layanan kesehatan yang terbatas, sanitasi yang buruk, gizi yang tidak memadai, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan menjadi penyebab utama tingginya angka keluhan kesehatan di beberapa daerah.
Kenyataan-kenyataan pahit ini menuntut adanya solusi yang komprehensif dan terintegrasi agar permasalahan yang dihadapi bangsa dapat diselesaikan secara efektif dan berkelanjutan. Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan tanpa hambatan, serta terbebas dari belenggu kemiskinan ekstrem. Mereka juga harus diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menuju kemandirian ekonomi dalam berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya.
Salah satu solusi yang menjanjikan adalah melalui implementasi Unified System dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini bertujuan untuk mengoptimalkan tata kelola zakat sebagai instrumen untuk membangun kesejahteraan umat. Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki potensi yang besar untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta membantu masyarakat yang membutuhkan.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 4 Agustus 2025, menggelar sidang lanjutan uji materi UU Zakat untuk mendengarkan keterangan ahli dari pemerintah. Pada judicial review tersebut, Bahrul Hayat, yang merupakan Sekjen Kementerian Agama periode 2006-2014 dan Ketua Panja RUU Pengelolaan Zakat 2011, mengingatkan tentang arti penting sistem pengelolaan zakat yang terintegrasi atau kerap disebut Unified System.
Sebagai ahli yang pernah terlibat secara intens dalam perumusan legislasi tersebut, Bahrul Hayat menegaskan bahwa konsep Unified System yang terangkum dalam UU 23/2011 bukan sekadar wacana, melainkan solusi fundamental untuk memaksimalkan peran zakat sebagai instrumen jaminan sosial dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Unified System diharapkan dapat menciptakan sistem pengelolaan zakat yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien, sehingga dana zakat dapat disalurkan secara tepat sasaran dan memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Implementasi Unified System dalam pengelolaan zakat juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga zakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang tergerak untuk menunaikan zakatnya. Dengan meningkatnya jumlah dana zakat yang terkumpul, maka semakin banyak pula program-program pemberdayaan ekonomi dan sosial yang dapat dilaksanakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, Unified System juga diharapkan dapat mendorong sinergi antara lembaga-lembaga zakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya koordinasi yang baik, maka program-program pemberdayaan ekonomi dan sosial dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien, serta menghindari tumpang tindih dan pemborosan sumber daya.
Dalam rangka menyongsong HUT ke-80 RI, mari kita jadikan momentum ini sebagai ajang untuk merefleksikan diri dan memperkuat komitmen kita untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati, yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Implementasi Unified System dalam pengelolaan zakat merupakan salah satu langkah strategis yang dapat kita lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan zakat yang dikelola secara profesional dan transparan, kita dapat membantu meringankan beban masyarakat yang membutuhkan, serta membangun fondasi yang kuat bagi kemandirian ekonomi dan sosial bangsa.
Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum mustadhafin atau mereka yang lemah dan tertindas. Dengan zakat, kita dapat membantu membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, serta memberikan mereka kesempatan untuk hidup yang lebih baik dan bermartabat. Mari kita bersama-sama menjadikan zakat sebagai instrumen untuk mewujudkan kemerdekaan kaum mustadhafin dan membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.











