Aksi perebutan poster dukungan terhadap Delpedro dan kawan-kawan (dkk) oleh aparat kepolisian di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah memicu gelombang perbincangan di media sosial. Insiden ini, yang terekam dalam foto dan video amatir, dengan cepat menyebar luas, memicu berbagai reaksi dan komentar dari warganet. Kejadian ini menyoroti sensitivitas isu-isu terkait kebebasan berekspresi dan peran aparat keamanan dalam mengamankan jalannya proses hukum.
Kejadian bermula saat berlangsungnya sidang pembacaan putusan terhadap Khariq Anhar, seorang mahasiswa Universitas Riau yang terlibat dalam serangkaian aksi demonstrasi. Di luar gedung pengadilan, sejumlah massa aksi menggelar unjuk rasa sebagai bentuk solidaritas terhadap Delpedro Cs, yang juga merupakan aktivis dan menghadapi proses hukum terkait aksi demonstrasi serupa. Massa aksi membawa berbagai atribut, termasuk poster-poster bertuliskan dukungan dan tuntutan pembebasan.
Namun, situasi berubah ketika Kapolsek Pasar Minggu, Kompol Anggiat Sinambela, terlihat merebut salah satu poster yang dibawa oleh massa aksi. Tindakan ini sontak memicu reaksi dari para demonstran dan saksi mata di lokasi kejadian. Momen perebutan poster tersebut berhasil diabadikan dan kemudian diunggah ke media sosial oleh akun Instagram @sorgemagz, menjadi viral dan memantik diskusi publik.
Also Read
Dalam keterangan unggahannya, admin akun @sorgemagz menjelaskan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap aktivis yang ditangkap akibat gelombang demonstrasi pada akhir Agustus lalu. Unggahan tersebut dengan cepat mendapatkan perhatian luas, dibagikan oleh banyak pengguna media sosial, dan memicu berbagai komentar pro dan kontra.
Menanggapi viralnya kejadian tersebut, Kapolsek Pasar Minggu, Kompol Anggiat Sinambela, memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihaknya bukanlah bentuk arogansi aparat, melainkan bagian dari Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di lingkungan pengadilan. Menurutnya, membawa spanduk, poster, atau atribut sejenis lainnya tidak diperkenankan di dalam area persidangan.
Penjelasan Kapolsek Pasar Minggu ini memicu perdebatan lebih lanjut. Sebagian pihak memahami dan mendukung tindakan aparat kepolisian sebagai upaya menjaga ketertiban dan keamanan di lingkungan pengadilan. Mereka berpendapat bahwa aturan tersebut bertujuan untuk menghindari potensi gangguan terhadap jalannya persidangan dan menjaga suasana kondusif.
Namun, di sisi lain, banyak pihak yang mengkritik tindakan aparat kepolisian tersebut. Mereka berpendapat bahwa perebutan poster merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Mereka menilai bahwa kehadiran poster-poster tersebut tidak serta merta mengganggu ketertiban dan bahwa aparat seharusnya lebih mengedepankan pendekatan persuasif daripada represif.
Perdebatan ini menyoroti kompleksitas isu kebebasan berekspresi di ruang publik. Di satu sisi, kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan kritik, dan menyatakan dukungan terhadap suatu isu tanpa rasa takut. Di sisi lain, kebebasan berekspresi juga memiliki batasan. Kebebasan tersebut tidak boleh melanggar hak orang lain, mengganggu ketertiban umum, atau menyebarkan ujaran kebencian.
Dalam konteks demonstrasi di lingkungan pengadilan, perlu dicari titik keseimbangan antara hak untuk menyampaikan pendapat dan kewajiban untuk menjaga ketertiban. Aparat kepolisian memiliki tanggung jawab untuk mengamankan jalannya persidangan dan mencegah terjadinya gangguan. Namun, aparat juga harus menghormati hak para demonstran untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Insiden perebutan poster di PN Jakarta Selatan ini menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya dialog dan komunikasi yang efektif. Aparat kepolisian perlu lebih meningkatkan kemampuan komunikasi dan pendekatan persuasif dalam menghadapi massa aksi. Para demonstran juga perlu memahami aturan dan batasan yang berlaku di lingkungan pengadilan. Dengan komunikasi yang baik, potensi konflik dapat diminimalkan dan hak semua pihak dapat dihormati.
Selain itu, insiden ini juga menyoroti peran media sosial dalam membentuk opini publik. Informasi yang beredar di media sosial dapat dengan cepat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu peristiwa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bijak dalam menggunakan media sosial dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi.
Ke depan, diharapkan aparat kepolisian dapat lebih mengedepankan pendekatan yang humanis dan menghormati hak asasi manusia dalam mengamankan aksi demonstrasi. Penggunaan kekuatan harus menjadi pilihan terakhir dan hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan. Selain itu, penting bagi aparat untuk memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel kepada publik terkait tindakan yang mereka lakukan.
Sementara itu, masyarakat sipil juga perlu terus mengawal isu kebebasan berekspresi dan memastikan bahwa hak-hak warga negara dilindungi. Pemantauan terhadap kinerja aparat kepolisian dan advokasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia merupakan bagian penting dari upaya tersebut.
Insiden perebutan poster di PN Jakarta Selatan ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing, diharapkan kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Kebebasan berekspresi merupakan pilar penting dalam negara demokrasi. Namun, kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab dan kesadaran akan pentingnya menjaga ketertiban umum.
Penting untuk dicatat bahwa kasus Delpedro dan kawan-kawan, serta Khariq Anhar, merupakan isu yang kompleks dan memiliki dimensi hukum serta sosial yang mendalam. Peristiwa demonstrasi yang melibatkan mereka merupakan bagian dari dinamika sosial dan politik yang lebih luas. Oleh karena itu, penanganan terhadap kasus ini harus dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan semua aspek yang relevan.
Dalam konteks ini, peran media sangat penting dalam memberikan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik. Media harus menghindari sensasionalisme dan provokasi, serta mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang etis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, media dapat membantu masyarakat untuk memahami isu-isu yang kompleks dan mengambil sikap yang bijak.
Akhirnya, insiden perebutan poster di PN Jakarta Selatan ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali tentang nilai-nilai demokrasi, kebebasan berekspresi, dan peran aparat keamanan dalam negara hukum. Dengan dialog yang konstruktif dan komitmen untuk saling menghormati, diharapkan kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera.












