Aktivis 98, Ubedilah Badrun, secara tegas menyatakan bahwa Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, tidak memenuhi syarat untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Pernyataan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang salah satu kriterianya adalah integritas. Ubedilah Badrun berpendapat bahwa rekam jejak Soeharto selama memimpin Indonesia dinodai oleh berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang membuatnya tidak layak menyandang gelar kehormatan tersebut.
Ubedilah Badrun, yang dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dalam gerakan reformasi 1998, menyampaikan pandangannya ini dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan pada hari Minggu, 26 Oktober 2025. Ia menekankan bahwa penilaiannya bukan didasarkan pada sentimen pribadi, melainkan pada analisis objektif terhadap fakta-fakta sejarah dan ketentuan hukum yang berlaku.
"Soeharto tidak memenuhi syarat menjadi pahlawan karena secara konstitusi, secara UU itu memang tidak memenuhi. Tidak memenuhi syarat, apa di antara syaratnya? Memenuhi integritas," tegas Ubedilah Badrun.
Also Read
Pernyataan Ubedilah Badrun ini tentu saja memicu perdebatan dan diskusi hangat di berbagai kalangan. Sebagian pihak mendukung pandangannya, dengan mengacu pada catatan kelam pelanggaran HAM yang terjadi selama era Orde Baru. Sementara itu, pihak lain berpendapat bahwa Soeharto juga memiliki jasa besar dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas politik Indonesia, sehingga layak untuk dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memang menjadi landasan utama dalam penentuan seseorang layak atau tidak untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Selain integritas, undang-undang ini juga mensyaratkan bahwa calon pahlawan nasional harus memiliki jasa yang luar biasa bagi bangsa dan negara, berjuang untuk kemerdekaan, persatuan, dan kesatuan Indonesia, serta memiliki moral dan kepribadian yang terpuji.
Dalam konteks Soeharto, Ubedilah Badrun menilai bahwa aspek integritas menjadi titik lemah yang menggugurkan kelayakannya sebagai pahlawan nasional. Ia merujuk pada berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa kepemimpinan Soeharto, seperti Tragedi 1965, Peristiwa Tanjung Priok, Kasus Marsinah, dan berbagai kasus lainnya. Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran HAM ini mencerminkan bahwa Soeharto tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
"Soeharto tidak memiliki integritas lantaran banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat dia memimpin Indonesia. Menurutnya, hal ini telah dinyatakan oleh berbagai lembaga kredibel," ujar Ubedilah Badrun.
Lebih lanjut, Ubedilah Badrun juga menyoroti praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela selama era Orde Baru. Ia berpendapat bahwa KKN telah merusak sistem pemerintahan dan perekonomian Indonesia, serta menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Menurutnya, seorang pahlawan nasional seharusnya menjadi teladan dalam hal kejujuran, keadilan, dan pengabdian kepada kepentingan bangsa dan negara.
Namun demikian, Ubedilah Badrun mengakui bahwa Soeharto juga memiliki kontribusi positif dalam pembangunan Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Soeharto berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan membangun infrastruktur yang signifikan. Akan tetapi, ia menekankan bahwa jasa-jasa tersebut tidak bisa menghapus catatan kelam pelanggaran HAM dan praktik KKN yang terjadi selama masa kepemimpinannya.
"Kita tidak bisa menutup mata terhadap jasa-jasa Soeharto dalam pembangunan. Tetapi, kita juga tidak bisa mengabaikan pelanggaran HAM dan KKN yang terjadi selama era Orde Baru. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri," kata Ubedilah Badrun.
Pernyataan Ubedilah Badrun ini sejalan dengan pandangan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM yang selama ini menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Mereka berpendapat bahwa pemberian gelar tersebut akan melukai rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka. Selain itu, mereka juga khawatir bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Di sisi lain, sebagian pihak berpendapat bahwa Soeharto layak untuk dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional karena jasa-jasanya dalam membangun Indonesia. Mereka berargumen bahwa Soeharto telah berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi dan politik pada era 1960-an, serta menciptakan stabilitas yang memungkinkan pembangunan berjalan lancar. Selain itu, mereka juga menilai bahwa Soeharto telah berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui program-program pembangunan yang terencana.
Namun demikian, argumen ini dibantah oleh para kritikus Soeharto. Mereka berpendapat bahwa pembangunan ekonomi yang dicapai selama era Orde Baru tidak merata, dan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses kekuasaan. Selain itu, mereka juga menyoroti bahwa pembangunan ekonomi tersebut dibiayai dengan utang luar negeri yang besar, yang kemudian menjadi beban bagi generasi penerus.
Perdebatan mengenai kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional ini menunjukkan bahwa sejarah Indonesia masih menyimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tragedi-tragedi masa lalu, seperti pelanggaran HAM dan praktik KKN, masih menjadi isu sensitif yang terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu, penting bagi bangsa Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi nasional yang sejati, dengan mengakui kesalahan masa lalu, memberikan keadilan bagi para korban, dan membangun sistem hukum yang kuat dan adil.
Pemberian gelar pahlawan nasional merupakan sebuah penghargaan yang sangat tinggi dari negara kepada individu yang dianggap telah berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, proses seleksi dan penentuan calon pahlawan nasional harus dilakukan secara cermat dan transparan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk integritas, jasa, dan kontribusi positif bagi masyarakat.
Dalam konteks Soeharto, Ubedilah Badrun berpendapat bahwa aspek integritas menjadi faktor penentu yang menggugurkan kelayakannya sebagai pahlawan nasional. Ia berharap bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia dapat mempertimbangkan pandangannya ini secara objektif, demi menjaga marwah gelar pahlawan nasional dan menghormati para korban pelanggaran HAM.
"Saya berharap bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia dapat mempertimbangkan pandangan ini secara objektif, demi menjaga marwah gelar pahlawan nasional dan menghormati para korban pelanggaran HAM," pungkas Ubedilah Badrun.
Perdebatan mengenai kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional ini akan terus berlanjut, dan tidak ada jawaban tunggal yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun demikian, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat belajar dari sejarah, mengambil hikmah dari masa lalu, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.












