
Gelombang protes besar melanda Amerika Serikat, dengan diperkirakan tujuh juta warga turun ke jalan dalam demonstrasi yang disebut "No Kings" untuk menyuarakan penentangan mereka terhadap mantan Presiden Donald Trump dan apa yang mereka anggap sebagai kecenderungan otoriter pemerintahannya. Aksi massa ini menandai eskalasi signifikan dalam perlawanan sipil terhadap Trump, dengan para peserta dari berbagai latar belakang berkumpul untuk membela prinsip-prinsip demokrasi dan menentang kebijakan-kebijakan yang mereka yakini merusak nilai-nilai inti Amerika.
Salah satu demonstran, Peggy Cole, seorang pensiunan pegawai negeri dari Flint, Michigan, melakukan perjalanan hampir 10 jam untuk bergabung dengan protes di Washington, DC. Cole, yang merayakan ulang tahunnya yang ke-70, mengatakan bahwa ia merasa terdorong untuk berpartisipasi dalam demonstrasi karena ia percaya bahwa "masa yang menakutkan" bagi rakyat Amerika dan bahwa demokrasi sedang dipertaruhkan.
"Sepertinya bagi saya, (Trump) sedang mengambil alih pemerintahan kita, demokrasi kita, dan membongkarnya sepotong demi sepotong, perlahan tapi pasti, jika kita hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa pun," kata Cole.
Also Read
Gerakan No Kings: Protes Nasional yang Terkoordinasi
Protes "No Kings" merupakan upaya terkoordinasi secara nasional, dengan lebih dari 2.700 demonstrasi diadakan di seluruh negeri. Para penyelenggara menggambarkan protes ini sebagai respons terhadap agenda "otoriter" Trump, yang mereka yakini mengancam fondasi demokrasi Amerika. Jumlah peserta dalam protes "No Kings" jauh melebihi ekspektasi, dengan hampir 7 juta orang turun ke jalan, termasuk lebih dari 100.000 orang di New York City saja.
Selain demonstrasi besar di kota-kota besar, kelompok-kelompok kecil demonstran "No Kings" muncul di sepanjang jalan raya yang ramai, di alun-alun kota kecil, dan di taman-taman kota di negara bagian merah dan biru. Kehadiran yang meluas ini menunjukkan jangkauan dan intensitas kekhawatiran tentang arah negara di bawah kepemimpinan Trump.
Protes "No Kings" terjadi di tengah musim panas yang penuh gejolak yang ditandai dengan penggerebekan imigrasi massal, demonstrasi menentang penegakan hukum imigrasi federal, dan pengerahan pasukan federal ke kota-kota yang dipimpin Partai Demokrat. Peristiwa-peristiwa ini telah memperburuk ketegangan politik dan memicu seruan untuk tindakan yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak sipil dan membela demokrasi.
Meskipun sebagian besar protes "No Kings" berlangsung damai, ada beberapa insiden di mana para demonstran menjadi sasaran kekerasan dan intimidasi. Di Carolina Selatan, seorang perempuan ditangkap karena mengacungkan senjata api saat mengemudi di dekat sebuah demonstrasi, dan di Georgia, seorang pria terlihat dalam video mengambil bendera seorang demonstran dan mendorong demonstran lain ke tanah. Insiden-insiden ini menggarisbawahi potensi bahaya yang dihadapi oleh para demonstran dan pentingnya memastikan keselamatan dan keamanan mereka.
Komitmen terhadap Aksi Tanpa Kekerasan
Menanggapi narasi yang dipromosikan oleh pemerintahan Trump dan beberapa pejabat Partai Republik yang menggambarkan protes anti-Trump sebagai ulah "radikal sayap kiri yang brutal," organisasi di balik acara "No Kings," Indivisible Project, menegaskan komitmennya terhadap "aksi tanpa kekerasan." Organisasi ini telah melatih puluhan ribu orang dalam hal keselamatan dan de-eskalasi, yang dianggap sangat penting di tengah meningkatnya kekerasan politik di seluruh negeri.
Komitmen terhadap aksi tanpa kekerasan mencerminkan keyakinan bahwa perubahan sosial yang langgeng hanya dapat dicapai melalui cara-cara damai dan demokratis. Ini juga merupakan pengakuan bahwa kekerasan hanya akan memperburuk polarisasi dan memperdalam perpecahan dalam masyarakat Amerika.
Seruan untuk Persatuan dan Pembelaan Demokrasi
Para demonstran "No Kings" mengenakan pakaian kuning sebagai simbol persatuan dan referensi bagi gerakan perlawanan tanpa kekerasan lainnya. Warna kuning berfungsi sebagai pengingat visual bahwa jutaan orang bersatu dalam keyakinan bahwa Amerika adalah milik rakyatnya, bukan milik seorang raja.
Para pengunjuk rasa lainnya mengenakan kostum, termasuk ayam tiup, katak, dan dinosaurus, yang menurut beberapa orang menekankan sifat damai dari demonstrasi tersebut. Kostum-kostum yang unik dan kreatif ini menambahkan elemen keceriaan dan humor pada protes, yang membantu untuk mencairkan suasana dan membuat para demonstran merasa lebih nyaman dan aman.
Para pengunjuk rasa terdengar bersorak keras dan meneriakkan slogan-slogan melalui megafon, termasuk, "Beginilah rupa demokrasi," dan "Tidak ada kebencian, tidak ada rasa takut, imigran diterima di sini." Mereka melambaikan bendera Amerika beserta spanduk yang menentang ICE, otoritarianisme, dan miliarder. Slogan dan spanduk ini mencerminkan berbagai macam kekhawatiran dan tuntutan para demonstran, yang bersatu dalam tekad mereka untuk membela demokrasi dan menentang kebijakan-kebijakan yang mereka yakini tidak adil dan tidak adil.
Menyelamatkan Demokrasi: Kekhawatiran tentang Kekuasaan Eksekutif
Banyak pengunjuk rasa menekankan pentingnya demokrasi, sebuah institusi yang mereka khawatirkan akan terkikis akibat upaya Trump untuk memperluas kekuasaan eksekutif. Mereka percaya bahwa Trump telah menyalahgunakan kekuasaannya dan bahwa ia telah merusak norma dan lembaga demokrasi.
"Kita adalah negara demokrasi. Dan dalam demokrasi, orang-orang dapat berdiri dan menyuarakan pendapat mereka. Dan kita tidak akan dibungkam," ujar Joan Press kepada CNN dalam sebuah protes di Atlanta.
Sebuah demonstrasi yang mengawali protes di Atlanta menampilkan para pembicara ternama, termasuk Senator Demokrat Raphael Warnock dari Georgia. Warnock, seorang tokoh terkemuka dalam perjuangan untuk hak-hak sipil dan keadilan sosial, berbicara dengan penuh semangat tentang pentingnya melindungi demokrasi dan menentang upaya untuk menekan suara rakyat.
"Saat ini, di mana kita menyaksikan seorang presiden dan pemerintahan yang merampas kekuasaan yang bukan miliknya, pesan kami sangat jelas," ujar Warnock kemudian kepada CNN. "Ini bukan tentang orang-orang yang berkuasa, ini tentang kekuatan yang ada di dalam rakyat."
Kimberly Diemert, seorang organisator dan direktur komunikasi untuk cabang Georgia dari 50501, sebuah gerakan "terdesentralisasi" yang telah membantu memimpin gelombang protes nasional, mengingatkan massa tentang hak-hak sipil kota tersebut. Diemert, seorang aktivis berpengalaman, menekankan pentingnya mengingat perjuangan masa lalu untuk hak-hak sipil dan bahwa mereka tidak boleh menerima begitu saja hak-hak yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
"Atlanta adalah tempat lahirnya Gerakan Hak Sipil sekaligus demokrasi … kami tidak ingin kehilangan itu," kata Diemert.
Di New York City, seorang demonstran memegang spanduk bertuliskan: "Kami protes karena kami mencintai Amerika, dan kami menginginkannya kembali." Spanduk ini mencerminkan rasa sakit hati dan kekecewaan yang dirasakan oleh banyak orang Amerika yang percaya bahwa Trump telah mengkhianati nilai-nilai dan cita-cita negara.
Pengunjuk rasa tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan privasi, mengatakan bahwa ia telah berunjuk rasa sejak tahun 1960-an, tetapi kali ini terasa berbeda. Ia merasa bahwa negara berada di persimpangan jalan dan bahwa penting untuk berdiri dan menyuarakan pendapat mereka.
Protes "No Kings" merupakan bukti kekuatan demokrasi dan tekad rakyat Amerika untuk membela hak-hak mereka dan menentang tirani. Protes ini mengirimkan pesan yang jelas kepada Trump dan para pendukungnya bahwa rakyat Amerika tidak akan tinggal diam sementara demokrasi mereka terkikis.
